Thursday, March 3, 2016

Perbedaan Kelas itu nyata


Baru saja saat sedang bekerja tak sengaja saya membuka tautan mengenai tulisan dari blog pribadi seorang penulis. Spektrum, begitu judul yang terbaca dibawah tulisan nama penulisnya, Avianti Armand. Sayapun mulai membaca kalimat demi kalimat yang kemudian terurai menjadi baying baying visual dalam benak saya. Perlahan saya mulai paham kenapa viewersnya mencapai ribuan.

Dalam spektrum, Avianti Armand berkontemplasi mengenai luasan bentang spektrum (jangkauan, cakupan, lingkup) dari praksis (bidang kehidupan) manusia, ditilik dari sepenggal dinamika tentang seorang arsitek yang bekejaran dengan waktu dalam menyelesaikan desain pembangunan hunian sederhana untuk 5000 KK yang sedang terancam digusur. Selain itu, adapula seorang kontraktor yang sedang melaksanakan satu desain rumah milik seseorang yang lain di kawasan kuningan dengan luas bangunan 7000 meter.

Dua pilihan cakupan dari praksis yang ditawarkan dalam tulisan tersebut saya maknai dengan sangat dalam. Dari sudut 5000 kk, hingga tanah seluas 7000 meter untuk satu rumah. Dari kamar tidur seluas lapangan basket, hingga orang-orang yang berumah gerobak. Dan tentang kegamangan kita saat klien, secara illegal, menginginkan kita membuatkan sumur ertesis, padahal baying-bayang kaum miskin yang kesulitan mendapat air bersih berlarian di benak kita.

Hal hal perih jika dipikirkan dengan akal sehat.

Membaca tulisan tersebut membuat saya tiba-tiba ingin menawarkan satu lagi pilihan cakupan praksis yang lain. Sebutlah ini sebagai pilihan yang ke tiga. Yaitu, tentang para buruh bangunan yang bekerja keras, membanting tulang dengan segala bentuk pekerjaan kasar, berhadapan dengan terik matahari, berjauhan dengan istri dan anak yang kebanyakan memilih bertahan menunggu dikampung, untuk sejumlah uang agar anak-anak mereka dapat mengenyam pendidikan sekolah dan memiliki modal usaha. Mereka yang berjuang mencukupi kebutuhan hidup dengan benar-benar bekerja. Mereka menjadi ujung tombak berdirinya suatu bangunan.

Disuatu waktu yang berbeda, saya harus mengelus dada dalam perasaan yang karut marut saat menyaksikan berita-berita penggusuran yang dilakukan oleh developer. Walau sungguhnya penggusuran tersebut tidak juga lantas melemparkan para pemukimnya ke jalanan, sebab ada solusi lain yang telah disediakan. Yaitu dibangunkan sebentuk rumah susun atau yang lainnya untuk di huni. Tetapi tetap saja, pemandangan seperti itu adalah pemandangan yang memprihatinkan. Pada akhirnya saya berkesimpulan, mungkin beginilah cara sebentuk persepektif melingkari kehidupan manusia. Bagi saya, hidup adalah tentang kemampuan memahami kehidupan orang lain. Maka, sebaiknya mungkin kita harus memperbanyak pilihan cara pandang, agar tidak terkukung dalam penghakiman-penghakiman atas pilihan cara hidup oranglain. Setelah itu yang bisa kita lakukan dengan kehidupan yang keras ini adalah mempertajam suara hati nurani.

@Mirra Febriyanti

No comments:

Post a Comment